BAB I
MEMBUDAYAKAN HIDUP SEDERHANA DAN MENYANTUNI DLU`AFA
1.
Q.S. AL-FURQÂN
[25]: 67
وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ
قَوَامًا
a.
Terjemah
Artinya: “Dan orangorangyang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yang demikian”.
b.
Penjelasan
AlInfâq atau alNafaqah, di dalam al-Quran
secara umum mempunyai arti mempergunakan dan membelanjakan harta; baik untuk
kepentingan negatif dan yang bersifat positif; seperti memberikan nafkah kepada
keluarga dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan sebagaimana yang tertuang
di Q.S. al-Baqarah [2]: 215, serta donasi untuk kegiatan-kegiatan keagamaan (fi
sabîlillâh) sebagaimana yang termaktub di Q.S. al-Baqarah [2]: 261.
Alisrâf merupakan bentuk mashdar dari
kata asrafa pengertian yang dalam lughawi mengacu kepada segala bentuk
perbuatan yang melampaui batas kewajaran.Penggunaan terminologi isrâf di dalam
al-Quran dan al-Hadits tidak hanya terpaku dalam hal membelanjakan harta saja,
tetapi segala bentuk tindakan yang tidak wajar masuk di dalam kategori isrâf
ini; makan, minum dan berpakaian yang tidak wajar juga dianggap isrâf (Q.S.
al-A`râf [7]: 31, berbuat dosa juga dikategorikan sebagai perbuatan isrâf (Q.S.
al-Zumar [39]: 53).
Aliqtâr artinya menahan diri dari
kewajiban memberi nafkah dan santunan kepada yang berhak
mendapatkannya.Demikian definisi yang disebutkan di Lisân al`Arab.Dengan
bahasa yang lebih umum, para ahli tafsir sering mengartikannya dengan albukhlu
(ُلْخُالب)
dan alsyuhh (ُّحُّالش); bakhil, kikir, pelit. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah
SWT di Q.S. al-Isrâ` [17]: 100, bahwa kikir dan pelit merupakan karakter
dominan di dalam diri manusia, kalau rezeki yang terima berkurang mereka
mengeluh, tetapi ketika Allah SWT memberikan limpahan rezeki yang cukup, mereka
enggan berbagi (Q.S. al-Ma`ârij [21-19 :[70). Siapa yang mampu menjauhkan diri
dan memelihara hatinya dari sifat jelek ini, Allah menjanjikan baginya
keberuntungan hidup di dunia dan akhirat (Q.S. al-Taghâbun [16 :[64).
Q.S al-Furqân ayat 76 – 63 merupakan
rangkaian ayat yang berbicara tentang karakter dan kepribadian adi luhung
hamba-hamba Allah (ِنْٰحَّ الرُادَبِع).Panggilan orangorang Islam dengan ِنْٰحَّ
الرُادَبِع (hamba-hamba Dzat
Yang Maha Pengasih) merupakan penghargaan yang luar biasa, karena para nabi
juga mendapatkan predikat utama sebagai hamba dan rasul Allah.
Ayat ini secara tekstual menuntut kita
untuk berlaku bijak dalam membelanjakan harta, tidak terlalu royal yang
menimbulkan sifat hedonis dan tidak terlalu pelit yang juga memberikan kesan
egois.Tetapi secara makro ayat ini mengajarkan kesederhanaan dalam menjalani
kehidupan ini, kewajaran dalam bersikap, termasuk kesederhaan dan keseimbangan
dalam memahami dan mengamalkan tuntunan agama.
Lebih dari itu beberapa ulama tafsir menambahkan
bahwa yang dimaksud dengan isrâf di dalam berinfaq adalah membelanjakan harta
untuk melakukan kemaksiatan dan hal-hal yang tidak ada manfaatnya, sedangkan
maksud dari kikir di dalam berinfaq adalah tidak mengeluarkan hartanya untuk
menyantuni para dhu`afâ dan orang-orang yang membutuhka uluran tangan,nbaik
yang bersifat wajib maupun tathawu’. tengahan.
Sering kita mendengar sebuah ungkapan
bijak; sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.Dalam rangka memberikan
tuntunan berinfaq dan bershadaqah dengan wajar dan sederhana, al-Quran
menggunakan terminologi qawâman (اًامَوَق), yang secara bahasa merupakan
pengembangan dari kata qâmayang mengandung arti berdiri, tegak dan
lurus. Maka kesederhanaan dan kewajaran dalam segala hal menjadi sebuah yang
harus menjaga keharmonisan dan menjadi keseimbangan hidup seseorang
2. Q.S. al-Isrâ’ [17]: 26-27
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا۞إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا
إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
a.
Terjemah
“Dan berikanlah kepada keluargakeluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.(26). Sesungguhnya
pemborospemboros itu adalah saudarasaudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.(27)”.
b.
Penjelasan
Syekh
Mutawalli Sya`rawi menyebutkan 2 (dua) terminologi haqq yang digunakan di dalam
al-Quran: Pertama, haqqun ma`lûm, sebagai mana yang termaktub di Q.S. alMa`ârij
[70]: 24, dan yang dimaksud dengan haqqun ma`lûm di ayat ini adalah zakat yang
bersifat wajib dengan syarat dan ketentuan tertentu. Kedua, haqqun ghoiru
ma`lûm,sebagaimana firman Allah di Q.S. al-Dzâriyât [51]: 19, artinya bahwa
selain zakat yang wajib, di dalam harta kita ada kewajiban lain yang bersifat
tathawwu` dan sukarela. Dan kelapangan hati seseorang untuk melaksanakan yang
kedua ini menjadi indikator bagi keshalehan pribadinya.
Almiskîn
(ُْيِكْسِم
sakana ْال) dan alsakînah (ُةَنْيِكَالس) berasal dari kata dasar yang sama (َنَكَس) artinya diam dan tenang.Dari tinjauan
bahasa ini para ulama fiqih mendefinisikan bahwa orang miskin adalah orang yang
hidupnya tenang karena penghasilannya sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari
meskipun tidak tersisa; penghasilan dan kebutuhannya inpass.Berbeda dengan
alfuqarâ`(ُاءَرَقُالف), karena kebutuhannya lebih besar dari pada penghasilannya,
yang secara ilustratif bisa digambarkan dalam sebuah ungkapan peribahasa; besar
pasak dari pada tiang.
Ibn
alsabîl (ِلْيِبَّ السُنْاب) merupakan istilah syar`i yang dipakai untuk menyebut
orangorang yang sedang melakukan perjalanan ke luar daerah (musâfir) dan
kehabisan bekal di dalam perjalanannya. Lebih lanjut, Ibnu Katsir ketika
menafsirkan Q.S. al-Taubah [:[9 60, menambahkan bahwa orang-orang yang akan
melakukan perjalanan ke luar daerah karena urusan tertentu dan tidak memiliki
dana yang cukup dalam perjalanannya, juga dikategorikan sebagai ibn alsabîl (ِلْيِبَّ السُنْاب)
yang berhak mendapat tunjangan perjalanan dari dana zakat.
Tabdzîr
(رْيِذْبَت),
sebagaimana yang ditafsirkan oleh Dr. Wahbah Zuhaily adalah tindakan menggunakan dan membelanjakan
harta tidak pada tempatnya, atau membelanjakan harta untuk barang yang tidak
dibutuhkan.Dengan ini maka isrâf dan tabdzîr mempunyai arti yang sama.
Ayat
26 surat al-Isrâ` mengandung satu perintah dan satu larangan. Perintahnya
adalah mengeluarkan sebagian harta kita untuk orang-orang yang berhak menerimanya,
karena di dalam setiap harta yang kita miliki terdapat hak orang lain yang
wajib ditunaikan, baik itu yang bersifat wajib seperti zakat mâl dan zakat
fithrah, maupun yang bersifat tathawwu` dengan memberikan santunan sebagai
bentuk kepedulian kita terhadap dhu`afâ dan sebagai wujud rasa syukur kepada
Allah atas kelapangan rezeki yang telah diberikan. Sedangkan larangan yang ada
di dalam ayat di atas berkaitan dengan perilaku tabdzîr.
Syekh Mutawalli Sya`rawi mengatakan bahwa larangan tabdzîr ini mempunyai
dua pengertian: Pertama, larangan untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah melebihi batas dan ketentuan yang ditetapkan
oleh syariat Islam. Orang yang menafkahkan hartanya seperti ini kemungkinan
banyak mendapat pujian dan ucapan terima kasih, sehingga membawanya kepada
sikap sum`ah dan riya`, tetapi akhirnya akan muncul penyesalan dan tidak
ikhlash karena hartanya berkurang cukup banyak. Kedua, larangan di ayat
tersebut bukan pada sedekahnya, tetapi ayat ini melarang untuk membelanjakan
hartapada hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
Untuk
memberikan penekanan terhadap larangan tabdzir ini, Allah menganggap orang yang
melakukan isrâf dan tabdzîr memiliki ikatan persaudaraan dengan setan.
Persamaan karakternya adalah sikap melampaui batas; setan sangat berlebihan di
dalam bermaksiat kepada Allah,.
2.
Q.S. al-Isrâ’
[17]: 29-30
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ
عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا۞
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ
بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
a.
Terjemah
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki
kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat akan hambahambaNya”.
b.
Penjelasan
Ayat 29-30 ini sangat terkait dengan
2 ayat sebelumnya (27-28). Pada ayat 27 dan 28
tersebut Allah melarang membelanjakan dan menggunakan harta untuk hal
yang tidak bermanfaat dan melampaui batas, dan pada ayat ini Allah memberikan
standar kewajaran dalam membelanjakan harta sebagi upaya menjaga keharmonisan
kehidupan manusia.
Sama halnya dengan kandungan
QS.al-Furqon: 67, ayat ini juga menyebutkan dua karakter yang berbeda dalam
mensikapi harta; yang satu sangat royal dan berlebihan dalam membelanjakan
hartanya, dan satu sisi yang lain sangat pelit dalam membelanjakan hartanya.
Dan keduanya merupakan karakter yang tercela dan tidak terpuji.
إًة َ
ول ُ ل ْ غَ مَكَد َ يْلَع َْ تَ لَ وmerupakan
bahasa kiasan (kinâyah) yang digunakan oleh Allah untuk mensifati orang-orang
yang pelit dan kikir. Orang yang tidak mau berbagi dan menolong orang lain
digambarkan di dalam ayat ini seperti
orang yang tangannya diikat di lehernya sehingga tidak bisa bergerak dan
berbuat apa-apa.
ِ طْس َ
ب ْ الَُّا كَهْطُس ْب َ تَ لَو juga merupakan bahasa kiasan yang digunakan
Allah melarang kita membelanjakan harta secara berlebihan dan di luar batas
kewajaran termasuk dalam bersedekah. Bersedekah dan berinfaq sangat dianjurkan
tetapi yang paling baik adalah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
syariat Islam. Oleh karena itu Rasulullah saw melarang salah seorang sahabat
yang mempunyai satu anak perempuan
berniat menafkahkan seluruh hartanya setelah wafatnya nanti, kemudian
beliau bersabda: sepertiganya dari hartamu itu sudah banyak (H.R. Bukhari).
Apa
yang dimiliki manusia akan habis dan
lenyap, sedangkan apa yang dimiliki Allah selamanya akan kekal tidak akan
lenyap. Demikian firman Allah di Q.S. al-Nahl [16]: 96, meskipun demikian Allah
tidak memberikan semua rezekiNya kepada semua manusia, tetapi Allah membagi
rezekiNya dengan takaran tertentu, sebagian manusia dicukupkan rezekinya dan
sebagian yang lain diberi rezeki yang lebih sedikit bahkan kurang sesuai dengan
apa yang dikehendaki Allah SWT.
ُرِدْقَيَ وُاءَشَ يْنَمِ لَقْزِّ الر ُ طُسْبَ
يَكَّبَ رَّنِإ
Secara
tekstual, ayat ini menyatakan kekuasaan Allah untuk memberi dan tidak kepada
siapa yang dikehendaki, tetapi secara kontekstual sebenarnya mengajarkan kita
tata cara pengelolaan kekayaan dan manajemen anggaran. Artinya bahwa Allah
sebagai Dzat Yang Maha Kaya dan kekayaanNya tidak akan pernah habis tidak serta
merta menghamburkan kekayaanNya kepada semua manusia, apalagi manusia yang
kekayaannya akan lenyap dan habis, tidak diperbolehkan membelanjakan hartanya
secara berlebihan dan boros. Manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri tanpa
orang lain, maka Islam melarang kikir dan bakhil, tetapi manusia juga tidak
boleh menjatuhkan dirinya ke dalam jurang kebinasaan, maka Islam melarang
perilaku melampaui batas dan terkesan boros.
Orang yang tidak bisa menyeimbangkan antara
kedermawanan dan kekikiran diibaratkan seperti orang yang duduk dan tidak mampu
berdiri, maka mobilitas orang yang sedang duduk tidak sama dengan yang sedang
berdiri, tidak banyak aktifitasyang dapat dilakukan sehingga manfaatnya kepada
orang lain juga banyak berkurang, akhirnya timbul penyesalan terhadap
kedermawanannya yang berlebihan itu dan pasti mengurangi keikhlasan dalam
berbuat kebaikan, di sisi yang lain, sanak keluarga banyak yang mencela serta
mengeluhkan kondisi saat ini karena tidak ada lagi yang bisa diberikan kepada
mereka sebagai nafkah wajib. Inilah arti kiasan dari firman Allah:
ا ًورُسَْا مًومُلَ مَدُعْقَتَ
ف
Perintah untuk berhemat,
hidup sederhana dan bersahaja tidak hanya berlaku di dalam membelanjakan harta,
tetapi di dalam semua aktifitas Islam juga mengedepankan prinsip kewajaran dan
kesederhanaan.Seperti pesan yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan juga disebutkan Imam Bukhari tentang etika makan, minum,
berpakaian, dan bersedekah.
Artinya : “Makanlah,
minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah dengan tidak melampaui batas dan
tidak menyombongkan diri”
Larangan isrâf berlaku
untuk semua perbuatan kapan pun dan di mana pun, termasuk di dalam urusan
ibadah, sebagimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abdullah bin
Amr berikut ini:
Artinya: “Bahwasanya rasulullah saw
melewati Sa`d sedang berwudlu (mengambil air wudlu dengan gayung), beliau saw
bersabda: Mengapa isrâf seperti ini?. Maka dia (Sa`ad) bertanya: apakah di
dalam wudlu (juga) ada isrâf ?. Beliau menjawab: “Ya. (janganlah berlebihan
dalam menggunakan air untuk wudlu), walaupun kamu sedang berada di pinggir
sungai yang (airnya) mengalir (deras)” (HR. Ibnu Majah).
Wudlu adalah salah satu
bentuk ibadah mahdlah, meskipun menyempurnakan wudlu itu wajib, tetapi
penggunaan air untuk mendapatkan wudlu yang sempurna tidak boleh berlebihan.
Oleh karena itu Abu Nu`aim meriwayatkan dari Anas, berkata: Tidak ada baiknya
berwudlu dengan air yang berlebihan. Air merupakan salah satu sumber daya alam
yang sangat melimpah.Tetapi penggunaan air yang berlebihan meskipun untuk
kesempurnaan ibadah tetap tidak hanya berlaku untuk air saja, tetapi untuk
semua sumber daya alam, dan hadits ini melarang kita untuk mengeksploitasi
sumber alam secara berlebihan.
4. Q.S. al-Qashash
[28]: 79-82
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ ۖ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ
لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ۞ وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ
اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الصَّابِرُونَ۞ فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ
فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ۞
وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ
اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ ۖ لَوْلَا
أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا ۖ وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ
الْكَافِرُونَ۞
a. Terjemah
Artinya: “Maka keluarlah Qarun kepada
kaumnya dalam kemegahannya.Berkatalah orangorang yang menghendaki kehidupan
dunia: “mogamoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan
kepada Qarun; sesungguhnya ia benarbenar mempunyai keberuntungan yang
besar”(79) Berkatalah orangorang yang dianugerahi ilmu: “kecelakaan yang
besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orangorang yang beriman
dan beramal shaleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orangorang
yang sabar” (80) Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi.
Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab
Allah.dan tiadalah ia termasuk orangorang (yangdapat) membela (dirinya).(81)
Dan jadilah orangorang yang kemarin mencitacitakan kedudukan Qarun itu.
berkata: “aduhai. benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia
kehendaki dari hambahambaNya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak
melimpahkan karuniaNya atas kita benarbenar Dia telah membenamkan kita
(pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orangorang yang mengingkari (nikmat
Allah)”
a.
Penjelasan
Qarun, ditakdirkan menjadi orang yang memiliki
segalanya, kekayaan yang melimpah, suara yang sangat merdu dan wajah yang
tampan, dan semua orang mengetahui hal ihwalnya.Meskipun demikian karena
kesombongannya, Qarun senang sekali memamerkan kekayaannya.Sehingga suatu
ketika, sebagaimana yang disebutkan di ayat 78, Qarun berjalan di tengah
khalayak ramai dengan membawa serta kekayaan dan perhiasan-perhiasannya,
termasuk pelayan-pelayannya yang cantik dan kuda-kuda yang menurut beberapa
ahli tafsir, jumlah masing-masing tidak kurang dari 1000.
Mensikapi kekayaan yang dimiliki oleh
Qarun ini, manusia pada umumnya terbagi menjadi dua golongan: Pertama, golongan
manusia yang berangan-angan mendapatkan kekayaan dunia seperti yang telah
diberikan kepada Qarun, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di ayat 80.Kedua,
adalah golongan manusia yang mensyukuri apa pun yang telah diberikan Allah
kepadanya, dan tidak berangan-angan memiliki kelebihan yang diberikan kepada
orang lain. Dalam hal ini Allah berfirman di Q.S al-Nisâ’ [4]: 32:
ضٍ ْعَ بََ عْمُكَضْعَ بِهِ بَُّ للَلَّضَا فَ مْاْوَّنَمَتَ تَلَو
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain”.
Dan firman Allah di Q.S. Thâhâ [20]: 131
yang artinya: “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah
Kami berikan kepada golongangolongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan
dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih
baik dan lebih kekal”.
Pada ayat selanjutnya (ayat 81), secara
tersirat Allah memberikan pesan moral kepada kita umat islam supaya tidak
terhiur dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan tidak mengharapkan kekayaan
seperti yang dimiliki orang lain, karena itu semua tidak mampu menyelamatkan
diri kita dari adzab Allah. Pembelajaran
Allah melalui sebuah peristiwa lenyapnya Qarun dan seluruh kekayaannya ditelan
bumi, seharusnya mampu menyadarkan manusia untuk merubah orientasi hidupnya
dari materi oriented menjadi spiritual oriented. Sebagaimana orang-orang yang
ketika itu berangan-angan ingin menjadi seperti Qarun juga telah merubah
orientasi hidupnya, bersyukur dengan apa yang telah dikaruniakan kepadanya,
meyakini bahwa Allah memberikan rezeki sesuai dengan takaran kemampuan
hambaNya. (ayat 82).
5. Q.S. al-Baqarah [2]: 177
۞ لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى
الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي
الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
a.
Terjemah
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itusuatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikatmalaikat, kitabkitab,
nabinabi dan memberikan harta yangdicintainya kepada kerabatnya, anakanak
yatim, orangorang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di
perjalanan) dan orangorang yang memintaminta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orangorang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orangorang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orangorang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orangorang yang bertakwa”.
b.
Penjelasan
Imam al-Razi mengatakan bahwa ayat ini
merupakan salah satu ayat yangsangat penting, karena berbicara tentang standar
kebajikan universal (ُِّالب), mengatur hubungan manusia dengan Allah, baik berkaitan dengan
aqidah maupun ibadah, di samping itu juga mengatur kehidupan sosial manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Maka albirru (ُِّالب)
adalah segala bentuk kebajikan dalam ketaatan kepada Allah.Sebagaimana firman
Allah di Q.S. al-Baqarah [2]: 189 yang artinya “akan tetapi kebajikan itu
adalah orang yang bertakwa”.
Kebajikan dalam pengertian ayat ini mencakup
beberapa hal yang sangat fundamental dalam kehidupan seorang mukmin:
Dimensi iman; orang yang bijak dan bajik
adalah orang yang memiliki kualitas keimanan yang baik dan lurus, dan keyakinan
yang benar kepada rukun iman memberi
dampak positif bagi dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik.
Dimensi Islam; mengamalkan rukun islam
dengan baik merupakan pengejawantahan dari keimanan yang benar kepada Allah
Dimensi ihsan, yang di dalam ayat ini diwujudkan ke dalam beberapa bentuk:
Mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, Mempunyai komitmen dan konsistensi dan
Mempunyai kepribadian yang kuat.
Islam itu tidak hanya memperhatikan
masalah akidah dan ibadah, tetapi masalah sosial juga sangat diperhatikan,
bahkan kebaikan seseorang menjalani kehidupan sosial menjadi tolok ukur
kualitas keimanannya.sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori yang Artinya: “Tidaklah disebut sebagai mukmin, yang biasa hidup
kenyang, sementara tetangganya kelaparan” (HR. Bukhari).
6.Q.S. al-Mâ`ûn[107]: 1-7
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ۞ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ
الْيَتِيمَ۞ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ۞ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ۞
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ۞ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ۞
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
a.
Terjemahan
Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan haripembalasan?(1), Itulah orang yang menghardik anak yatim (2),
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (3), Maka kecelakaanlah bagi
orangorang yang shalat (4), (yaitu) orangorang yang lalai dari shalatnya (5),
orangorang yang berbuat ria (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna
(7)”
c.
Penjelasan
AlMa`ûn menurut bahasa berasal dari kata
`awn (نْوَع) yang berartibantuan dan pertolongan. Dan
alma`ûn dalam prakteknya digunakan untuk barang-barang yang dianggap tidak
berharga tetapi pada saat tertentu sangat dibutuhkan, seperti jarum, kapak,
cangkul, timba dll.
Secara mendasar Q.S. al-Mâ`ûn ini
menganjurkan umat Islam untuk menumbuhkembangkan kebiasaan gemar memberi
santunan dan bantuan kepada yang membutuhkan dari kalangan dlu`afâ’ dan
mustadl`afîn, bahkan ibadah sosial ini dikategorikan sebagai indikator penting
bagi keimanan seseorang. Dan di dalam surat ini keyakinan yang benar terhadap
hari pembalasan merupakan menifestasi dari kesempurnaan keimanan seseorang yang
diharapkan mampu mempengaruhi semua kepribadian dan tindakannya.
Secara garis beras, sebagaimana yang
disebutkan oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi bahwa orang yang mendustakan hari
akhir itu ada dua macam: Pertama, orang yang merendahkan martabat dlu`afâ` dan
menyombongkan diri karena merasa lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya.
Kedua, orang yang pelit dan susah membelanjakan hartanya untuk membantu fakir
miskin, serta tidak mau menguhasakan pengadaan bantuan atau menganjurkan
orang-orang kaya untuk memberikan santunan kepada mereka yang membutuhkannya.
Sekecil apa pun bantuan yang kita berikan,
sedikit banyak sangat mempengaruhi kualitas keimanan kita, bahkan ketika ada
seseorang yang meminjam timba atau kapak misalnya, dan kita menolak untuk
meminjamkan barang-barang tersebut, maka kita termasuk orang yang mendustakan datangnya
hari akhir.
َونُاعَم (menolong dengan)
barang berguna
ْ ال َونُعَنْمَيَ, و dan
enggan.Selain itu, surat al-Ma`un juga menyebutkan 2 kriteria lagi bagi orang
yang mendustakan agama; yang lalai dalam mengerjakan shalat, dan yang riyâ`.
Gambaran orang yang lalai dalam
mengerjakan shalat dan riyâ` adalah seperti yang dinyatakan Allah di Q.S.
al-Nisâ [4]: 142
َونُاءَرُ يَالَسُوا كُامَ قِة َ لَّ الصَ لِوا إُامَا قَ وَإِذْمُهُعِادَ خًَوُهَ
وََّ اللَونُعِادَُ يَيِقِافَنُمْ الَّنِإ يلِلَ ق َّ لِ إََّ اللَونُرُكْذَ يَ لَ
و َاسَّ ال
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik
itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.Mereka bermaksud riya (dengan
shalat) di hadapan manusia.Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
saja”.
Sayyed Sabiq di dalam kitabnya Fiqh alSunnah
menyebutkan bahwa tidak kurang dari 24 ayat di dalam al-Quran yang menyebutkan
perintah zakat bersamaan dengan perintah shalat.Ini menunjukkan bahwa menyantuni
orang yang sering disebut dengan ibadah sosial tidak kalah pentingnya dengan
shalat.Termasuk di Q.S. al-Mâ`ûn ini, jumlah ayat yang berbicara tentang ibadah
sosial lebih banyak dari ayat yang berbicara tentang ibadah mahdlah.
Dalam rangka mengembangkan budaya saling
membantu dan membangun integritas sosial, rasulullah saw banyak memberikan
motivasi kepada para sahabatnya tentang pentingnya menyantuni kaum dlu`afâ’
serta kedudukan dan pahala orang-orang yang suka membantu orang-orang yang
membutuhkan. Di antaranya adalah sabda rasulullah yang diriwayatkan oleh imam
Bukhari ini: ،ًنىِ
غِرْهَ ظْنَ عَنَا كَ مِةَقَدَّ الصُْ يَخَ ، وُولُعَ تْنَمِأ بَدْابَ ، وَلْفُّ
السِدَ ال َنِ مٌْ يَا خَيْلُ العُدَ ال (رواه البخاري)ُ اللهِهِنْغُ يِنْغَتْسَ
يْنَمَ ، وُ اللهُهَّفِعُ ي ْ فِفْعَتْسَ يْنَمَو
Artinya: “Tangan yang di atas (memberi)
itu lebih baik (kedudukannya) dari pada tangan yang di bawah (memintaminta),
maka mulailah (memberi) dengan siapa yang menjadi tanggunganmu, dan sebaikbaik
(harta yang dikeluarkan untuk) shadaqah adalah (harta) yang (sudah) melebihi
kebutuhannya, maka barang siapa yang menjaga diri (dari memintaminta), Allah
akan menjaganya (dari kehinaan), dan barang siapa yang merasa cukup, maka Allah
akan mencukupi kebutuhnnya). (HR. Bukhari)
Pada kesempatan yang lain imam Bukhari,
imam Abu Dawud dan lainnya menjelaskan maksud hadits di atas dengan ungkapan
bahasa yang lebih jelas;ُةَلِائَّ السَلْفُّالسَ
وُةَقِفْنُمْا الَيْلُعْ الُدَْ الTangan
di atas adalah pemberi (infak), dan tangan di bawah adalah peminta-minta.
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan
dari hadits rasulullah saw di atas, di samping secara moral menganjurkan kita
untuk gemar memberikan santuan kepada yang membutuhkan: Pertama, hadits
rasulullah saw ini menjelaskan bahwa derajat orang yang memberi itu lebih
tinggi dari kedudukan orang yang meminta, baik di dunia maupun di
akhirat.Dengan demikian ini adalah motivasi bagi kita untuk gemar memberikan
santuan dan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan.Kedua, bahwa yang
wajib mendapat perhatian pertama untuk disantuni dan dipenuhi kebutuhan
hidupnya adalah keluarga terdekat yang menjadi tanggung jawab kita. Ketiga,
hadits ini memerintahkan kita untuk berlaku yang wajar dan tidak boleh
memaksakan kehendak, maka rasulullah saw menganjurkan agar harta yang
dialokasikan untuk santuan merupakan harta lebih setelah kita memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kita sendiri. Keempat, rasulullah saw menganjurkan kita
untuk menumbuhkembangkan sifat qanâ`ah; merasa cukup dengan rezeki yang sudah
diberikan Allah, dan selalu bersyukur. Sifat qanâ`ah inilah yang mampu menjaga
diri untuk berlaku sederhana, dan juga menjaga diri dari budaya meminta-minta.